Pencerahan : Ilmu dan Kemuliaan

 

Aku letakkan ilmu pada lapar dan lelah, tapi mereka mencarinya pada kenyang dan santai, Aku letakkan kemuliaan pada Ketaatan Kepada-Ku, tapi mereka mencarinya dalam kepatuhan kepada penguasa

Itu sebaris kata-kata, dari sekian banyak kata-kata bermakna yang telah saya terima di ponsel, dimana setiap harinya minimal satu kata berhikmah dari owner sms berlangganan milik Jalaluddin Rahmat. Dalam bulan puasa yang mengandung makna berlapar-lapar demi ibadah sebagai salah satu Rukun Islam, maka kalimat diatas sangat tepat untukdimaknai. Allah memang tidak memberikan karunia secara langsung kepada manusia, melainkan melalui jalan hikmah. Ketika kita ‘sengaja’ mendahagakan diri dengan lapar dan haus, secara tidak langsung Allah mengajarkan kepada kita berbagai ilmu. Yang termudah dimaknai, tentulah ilmu “shabar“, selain ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu “toleransi” dengan “yang tak berkecukupan,” ilmu “berbagi” dengan “yang tak berpunya”, ataupun ilmu “ikhlas” dengan “yang tak berdaya”. Hikmah ini, tak akan kita dapatkan ketika kita merasa kenyang. Karena, kenyang membuat kita enggan berfikir.

Begitupun Allah telah memaknakan sebuah kemuliaan yang akan kita sandang ketika kita patuh hanya kepada-Nya.  Karena Allah telah berfirman yang artinya, “Semulia-mulia manusia di sisi-Ku adalah mereka yang bertaqwa“. Taqwa merupakan kata akhir dari sebuah rasa takut kepada Allah, dalam pengertian takut berbuat dosa, dan takut menentang semua kewajiban dan larangan-Nya. Oleh karena itu, jangan pernah ragu untuk menjadi “mulia” semata-mata karena kepatuhan kepada-Nya, walaupun dengan sebuah ancaman dari penguasa sekalipun. Yang paling gampang, misalkan saja, ketika dilaksanakan sebuah rapat penting, yang dipimpin oleh Gubernur atau Walikota atau Bupati, sementara sudah masuk waktu shalat dan diperkirakan rapat akan berjalan panjang melampaui waktu shalat tadi, tentulah kita tak perlu ragu meminta izin untuk menjalankan shalat, tanpa mesti takut karena sedang berada bersama penguasa. Karena, predikat “kemuliaan” yang digadang-gadangkan oleh Allah, sifatnya adalah pasti dan kekal.

Pencerahan : Tafsir Itu

Hari-hari Ramadhan berlalu begitu cepat. Baru saja rasanya kita begitu bersyukur diberikan rahmat oleh Allah Subhanu Wata’ala untuk menjejakkan lagi langkah-langkah kita di bukit dan lembah peribadatan yang—subhanallah—begitu bernilai di mata Allah, tanpa terasa hari ini kita telah berada di hari ke-7 Ramadhan.

Kita patut merasa amat berbahagia sebagai insan dan hamba-Nya yang telah dikarunia umur, kesehatan, dan kesempatan sehingga bertemu lagi kita dengan bulan yang senantiasa kita rindu-rindukan. Saat ini, bukanlah seperti seorang kanak-kanak yang senantiasa menghitung-hitung jumlah hari ramadhan yang bertanggalan, demi mencapai kebahagiaan lain di bulan Syawal. Tapi, kita memasuki Syawal dengan mulai menghitung-hitung berapa ratus hari lagi kita sampai ke bulan Ramadhan tahun berikutnya. Mengapa? Karena inilah bulan dimana umat muslim berkesempatan menebus dosa-dosanya yang telah lewat. Bulan yang dijanjikan oleh Allah, bahwa selepas ramadhan dengan begitu banyak ibadah yang dapat dilakukan—dengan begitu banyak pula pahala dan balasan yang diberikan oleh yang Maha Rahman dan Maha Rahim—maka manusia akan terlahir kembali suci seperti bayi.

Kegiatan yang amat baik dilakukan di bulan ramadhan ini adalah dengan menyempatkan membaca Tafsir Al-Qur’an. Barangkali inilah bulan ibadah yang amat sayang tidak diisi dengan kesempatan menggali pemahaman akan Al-Qur’an, mencoba mencari pencerahan, meneroboskan seberkas sinar pada hati kita masing-masing agar terbuka dan tersucikan dengan tafsir itu tadi. Insya Allah, pemahaman kita akan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah akan semakin mempertebal keyaqinan dan keimanan kita kepada Allah Tuhan yang Maha Agung.

Kewajiban berpuasa sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, diperintahkan puasa “supaya kamu bertaqwa“, dapatlah dipahamkan jalan tengah yang dikehendaki Islam dengan puasa. Dan tempat mereka bertanggungjawab semata-mata hanya kepada Allah. Apabila puasa ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dengan iman dan kesadaran ( imanan wahtisaaban ), niscaya sehabis hari sebulan itu akan sangatlah terasa kesannya yang besar bagi jiwa.

Sungguh, sempatkanlah waktu barang lima belas menit untuk membaca Tafsir Al-Qur’an, sebelum berangkat ke kantor. Kemudian, ada waktu luang di kantor sempatkan lagi membaca lima belas sampai setengah jam, akhirnya menjelang saat berbuka upayakan lagi sepuluh sampai lima belas menit untuk menuntaskan beberapa bagian. Insya Allah, ibadah kita di bulan puasa akan menjadi lebih dan amat bermakna.

Selamat berpuasa.

Keseharian : Senyum Itu…

 

Mengapa begitu susahnya untuk tersenyum?

Bahkan, ketika hari-hari kita pun telah digerogoti oleh ‘kuman-kuman’ kehidupan yang bernama penderitaan. Ketika hidup pun makin sesak dengan persoalan-persoalan kebangsaan yang kian lama kian membuat kita semakin muak. Mendengar betapa pandirnya seorang anggota DPR yang terhormat, di sebuah hotel terkenal bernama Ritz-Carlton, menerima segepok uang—dibungkus keren dengan sebutan gratifikasi—masih ditambah lagi dengan seorang wanita pekerja tempat hiburan, yang berkali-kali berusaha menyembunyikan wajahnya dari terpaan blitz kamera. Melihat, betapa kukuhnya seorang pedangdut wanita seksi, menganggap bahwa goyang dan pakaiannya yang seronok hanyalah bagian dari sisi entertain yang akan lewat dan menghilang tanpa bekas begitu ia turun panggung. Menyaksikan, betapa memilukan anak kelas 5 SD menggantungkan dirinya di tiang pintu kamar, hanya karena dimarahi dan dilarang bermain play station. Menonton televisi, menyiarkan sebuah amukmassa hanya dikarenakan tak mendapatkan seliter minyak tanah karena stoknya sudah habis, sementara yang membutuhkan masih sederet dua deret antrian.

Senyum telah menghilang dari wajah kita. Berganti dengan kerut mulut menukik, menandakan kegetiran. Senyum telah menghilang dari hati kita. Berganti dengan kegeraman yang kadang memuncak memuncratkan caci maki. Senyum telah lama mati dari wajah kita. Berganti dengan kain kafan yang menyelimuti diri kita, dan siap mengubur kita bersama mimpi-mimpi tentang bangsa yang sejahtera, damai, dan berpengharapan. Senyum telah lama terbang ke langit. Berganti dengan awan gelap yang menenggelamkan matahari menyisakan setitik saja cahaya untuk memberikan petunjuk dimana sudut kehidupan tempat kita meratap….

Senyum itu.  

Pilkada : Kekuasaan Itu…..

Adakah seorang Amien Rais merasa amat bersalah dengan situasi yang terjadi sekarang ini? Apa yang menjadi pemikirannya tentang negara federasi—yang untuk selanjutnya—pada masa sekarang ini diterjemahkan sebagai otonomi daerah lewat olahan tangan dingin Ryas Rasyid, ternyata telah melahirkan kekuasaan baru, pemegang otoritas daerah yang otoriter, dan thinking of anything to doing everything. Lihat saja, pemekaran kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah menginjak angka ratusan. Pernah anda bayangkan, ratusan walikota dan bupati berkumpul di suatu acara, dan semuanya membanggakan apa yang telah dilakukannya untuk daerahnya masing-masing.

Lalu, seperti apa yang telah mereka perbuat? Mereka berlomba-lomba membangun proyek mercusuar berbujet belasan sampai puluhan milyard. Terbayangkah anda di awal tahun 90-an proyek gila-gilaan ini dibangun bertebaran di seluruh propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Tak pernah terlintas sedikitpun, karena saat ini kita masih terbelenggu oleh kemiskinan, keterbelakangan, dan kesenjangan sosial yang masih amat lebar. Jika, sekarang, seluruh wilayah pemekaran berlomba-lomba memegahkan daerahnya dengan gedung dewan, gedung kantor pemerintahan, bahkan sampai kepada rumah jabatan ketua DPRD dan rumah jabatan gubernur, walikota dan bupati yang begitu mewahnya, adakah ini berarti bahwa kita sudah mulai makmur ?

Pilkada, melahirkan kekuasaan. Dan, kekuasaan itu melahirkan kerakusan, kepongahan, dan kejumawaan. Yang ada sekarang adalah sekelompok masyarakat—secara berani dan tak tahu malu—mengatasnamakan kepentingan peningkatan percepatan pertumbuhan daerah tertentu, berjuang habis-habisan di pintu DPR-RI dan DPD-RI guna mendapatkan selembar legalitas : propinsi atau kabupaten/kota pemekaran. Adakah niat itu sebanding paralel dengan kehidupan masyarakat yang telah meninggalkan najis keterpurukan ekonomi? Sesungguhnya tidak. Di koran-koran dan televisi-televisi secara rutin menyiarkan bagaimana di tengah kota Makassar mencuat kasus gizi buruk yang memakan korban anak-anak tewas. Di kota-kota, masyarakat pada level bawah, masih antre minyak tanah sampai dua kilo meter panjangnya antrean jirigen. Pada level masyarakat menengah, kelangkaan gas elpiji mewarnai dan mengimbangi kelangkaan mi-ta, ditengah gagahnya pemerintah mengumandangkan program pengalihan kebiasaan masyarakat dari minyak tanah kepada gas elpiji. Di beberapa daerah, byar-pet listrik negara masih menjadi menu harian di beberapa daerah, air bersih ( katanya, walaupun setelah terukur kadar lumpurnya masih tinggi ) menjadi keluhan masyarakat setengah mencaci maki.

Lalu, kemana hati nurani gubernur, walikota, bupati, ketua dan anggota dewan—-di Indonesia diembel-embeli kata terhormat—-melihat fenomena masyarakat yang masih amat menderita? Ternyata, hati nurani hanya terbungkus rapi dalam kantong janji-janji yang begitu lantang diungkapkan ketika kampanye pilkada……