Puisi : Sebuah Renungan Untuk Para Sahabat

lomo_subway

( Introspeksi Diri INKINDO di Ulang tahun ke-30 )

Sahabat,

Sebuah perjalanan panjang telah kita jalani, penuh-penuh,

Dengan sebuah rasa cinta dan kepercayaan yang tulus.

Sungguh.

Bukan mengada-ada, tidak pula karena ingin mengecap puja

Tertutur bahasa—halus selaksa sutera dewangga,

Tertata kata-kata—indah selaksa tenun maharaja dipakai paripurna

Kata dan bahasa jadikan renungan selama masa yang

Belum lagi lekang karena perjalanan sangat panjang

serta usia bersusun-baris bak anak tangga……

Sahabat,

Kita, pernahkah menyadari siapa yang bersama kita?

Adakah pemimpin yang kita amini, saudara yang kita cintai, serta

sahabat yang sebaik-baiknya?

Adakah pemimpin yang kita patuhi, saudara yang kita lindungi, serta

sahabat yang  siap dengarkan keluhkesah?

Adakah pemimpin yang berkata-kata, saudara bergelak canda, serta

sahabat bertukar cerita?

Adakah pemimpin memandang dengan mata hati,

saudara yang merasa dengan dinding hati,

serta sahabat yang membuka diri dengan pintu hati?

Adakah pemimpin yang menggenggamkan harapan,

saudara yang membisikkan dukungan, serta

sahabat yang siap mengulur tangan membekalkan tambahan kekuatan?

Dalam rumah besar beratap langit cita-cita,

Kita membutuhkan maklumat, mematuhi kitab aturan

serta mengibarkan pataka sebagai sehelai pengakuan….

Untuk itu, kita sepakat membangun kebersamaan dan keseharian

dalam sebuah rumah besar milik kita semua

Sahabat,

Rumah kita, pernahkah kau merasakan sejuknya?

Bukan Karena angin menghela gulungan ombak meniupkan nafasnya,

Tapi karena tingkap-tingkap hati terbuka, menyergapkan udara jiwa

Jiwa kita yang senantiasa meniupkan kesejukan dan ketentraman

Rumah kita, pernahkah kau merasakan kemegahannya?

Bukan karena matahari mengirimkan bintang dan planetnya

Tapi karena pintu-pintu hati, dipahatkan dengan ornament-ornamen

Kaligrafi etika yang utuh berbingkai, yang tulisannya

dilafadzkan dengan dentum membahana mengisi kembali

rongga-rongga hati para penghuninya

Rumah kita, pernahkah kau merasakan aroma suka citanya?

Bukan karena langit membentangkan permadani biru safirnya,

Tapi karena dinding-dinding hati dilukiskan dengan tinta hamdalah

Mushaf berisikan catatan kemakmuran dan

Gulungan catatan pundi-pundi harta penghuninya

Namun sahabat, sebaliknya

Rumah kita, kini rasakanlah baranya!

Bukan karena matahari menjejaringkan sinarnya

Tapi, jiwa kita panas digerogoti letup api kecemburuan dan

Saling tuding serta saling cakar…….

Rumah kita, kini lihatlah kerapuhannya!

Bukan karena tiangnya ringkih dimakan debu dan usia

Tapi, penghuninya menggergaji dan memotong-motong tetiang

Merasa tak lagi layak dijadikan tempat berteduh….

Rumah kita, kini ciumilah aroma kebusukannya!

Bukan karena setanggi tak lagi dibakar sebagai media pengirim doa

Tapi, kebusukan bicara dan amarah serta kedigdayaan diri

Menjadikan kita berlumuran dengan kotoran hati

Sahabat,

Saatnya, ketika langit cecita tak lagi cuma kita menulisinya,

Ketika gemawan tak lagi cuma kita yang dihujaninya,

Ketika rumah besar tak lagi cuma kita yang membangunnya,

Ketika matahari dan bulan tak lagi cuma kita yang disinarinya,

Ketika pemimpin, saudara dan sahabat tak lagi cuma kita yang mampu bersama,

Dan, ketika bukanlah kita yang punya kelebihan sendiri lagi

Maka sahabat,

Kita belajar pada perilaku alam : tentang keabadian,

Kita menafsir pada perilaku makhluk : tentang upaya hidup,

Kita membaca pada isyarat sifat : tentang kepuasan dan rengsa,

Kita merenung pada kejadian : tentang kekinian dan realita,

Dan, kesemuaan tanya hanya ada dalam satu jawaban :

“Rumah besar yang beratapkan cita-cita, yang di dalamnya

pemimpin, Sanak saudara, serta para sahabat duduk bersama,

berkata-kata, bergelak canda, bertawaria, serta tersenyum suka,

dan di dada kita semua ada  hati yang tulus,

ada jiwa yang ikhlas, dan ada nafas yang tenang”

Sahabat,

Aku percaya, kita masih bisa menjadi seperti kita

Yang ingin mewujudkan cita-cita bersama…….

Akhir Juli Dua Ribu Sembilan : 12.45

“Tadinya, akan disampaikan dalam Malam Puncak HUT INKINDO ke-30

Namun, karena keterbatasan waktu membuat ini urung dibacakan.

Agar tidak menjadi sesuatun yang basi, semoga dapat dibaca

Di blog saya ini”

Berikan Saya Kepercayaan

Fitri : Kesucian Itu

Apakah engkau merasa bersyukur telah melepas masa lapar

dan dahaga dengan segala ?

Syukurlah, karena kita masih punya segala dan apa-apa

Apakah engkau pernah terfikir untuk menyambut idul fitri

dan hari kemenangan tanpa segala?

Syukurlah, karena masih banyak orang tanpa segala, dan tak punya apapun!

Kefitrian dan Kesucian, sayangnya, telah terusik

oleh keserbaan dan keanekaan yang begitu menggempita

sehingga, astaghfirullah, tanpa sadar

Kita telah mencederai perasaan mereka yang melepas masa

berlapar dan berdahaga puasa, tanpa mereka mampu terfikir

bahkan hanya mimpi saja  tak sanggup,  punya :

pun sehelai baju koko baru,

pun sebungkus kecil nastar,

pun semangkuk sayur lodeh,

pun sekaleng minuman berkarbonat,

pun sebidang dinding rumah bercat kapur baru,

pun selembar karpet plastik menutupi lubang pada lantai,

pun sehelai princess-style buat si bungsu,

pun……

pun……

Ya, Allah, Ya, Rabb

Mereka yang cuma punya sebuah senyum getir,

sembari menulisi “Selamat Iedul Fitri” dengan tangan gemetar

karena tetap lapar,

Sebab selepas berbuka dengan air putih, belum lagi

ada yang mengganjal perut yang melompong-kosong,

Mereka yang tersenyum getir, rasanya

lebih pantas menikmati lebaran ini karena penderitaan yang

jauh berkepanjangan dan tak habis-habisnya……

Selamat iedul fitri,

penuhi dengan semangat berbagi, kebersamaan

dan kesederhanaan

The Mall : Hiburan Itu

Mal adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutup dengan suhu yang diatur dan memiliki jalur untuk berjalan jalan yang teratur sehingga berada diantara antar toko-toko kecil yang saling berhadapan [1]. Karena bentuk arsitektur bangunannya yang melebar (luas), umumnya sebuah mal memiliki tinggi tiga lantai.

( sumber kutipan dari Wikipedia )

Konsep “Mal” pada mulanya dimaksudkan sebagai one stop shopping, dimana ketika kita berada di sebuah mal maka semua kebutuhan akan terpenuhi. Dari kebutuhan remeh-temeh semacam garam dapur, sampai kepada kebutuhan rileks semacam pijat refleksi. Bahkan konsep mal era belakangan ini menyentuh sampai kepada kebutuhan hiburan anak-anak semacam waterboom, bahkan sampai kepada “rumah sewa pendek waktu” yang dapat digunakan untuk tempat peristirahatan bila pemenuhan kebutuhan belanja dengan kisaran waktu “ten to five“.

Namun, di sebuah kota sedang semacam Pontianak, mal telah digeser fungsi dan keberadaannya oleh pemanfaatan sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang haus akan pemenuhan hiburan dan rekreasi sebagai tempat untuk “just look and walking“. Akhirnya, ketika saat libur tiba, mal penuh sesak dengan orang yang mencari tempat cuci mata, rekreasi hati, sampai kepada temu kangen sahabat yang sudah lama tidak saling ketemu dan bercengkerama. Bahkan, bagi anak-anak muda—didominasi oleh ABG—mal dijadikan wahana menjalin hubungan dekat dan saling mengikat diri.

Di bulan Puasa yang suci ini, mal pun dijadikan tempat melepaskan kepenatan setelah sehari penuh menjalankan ibadah kepada Allah. Maka, yang mendominasi pengunjung adalah tempat-tempat makan, tempat minum kopi, tempat relaksasi dan kebugaran,  ataupun bangku-bangku di sepanjang koridor pejalan kaki. Biarlah, yang penting, tidak mengganggu kekhusu’an dan nilai ibadah yang telah dijalankan sehari penuh. Tidaklah menjadi sia-sia.

Pencerahan : Ilmu dan Kemuliaan

 

Aku letakkan ilmu pada lapar dan lelah, tapi mereka mencarinya pada kenyang dan santai, Aku letakkan kemuliaan pada Ketaatan Kepada-Ku, tapi mereka mencarinya dalam kepatuhan kepada penguasa

Itu sebaris kata-kata, dari sekian banyak kata-kata bermakna yang telah saya terima di ponsel, dimana setiap harinya minimal satu kata berhikmah dari owner sms berlangganan milik Jalaluddin Rahmat. Dalam bulan puasa yang mengandung makna berlapar-lapar demi ibadah sebagai salah satu Rukun Islam, maka kalimat diatas sangat tepat untukdimaknai. Allah memang tidak memberikan karunia secara langsung kepada manusia, melainkan melalui jalan hikmah. Ketika kita ‘sengaja’ mendahagakan diri dengan lapar dan haus, secara tidak langsung Allah mengajarkan kepada kita berbagai ilmu. Yang termudah dimaknai, tentulah ilmu “shabar“, selain ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu “toleransi” dengan “yang tak berkecukupan,” ilmu “berbagi” dengan “yang tak berpunya”, ataupun ilmu “ikhlas” dengan “yang tak berdaya”. Hikmah ini, tak akan kita dapatkan ketika kita merasa kenyang. Karena, kenyang membuat kita enggan berfikir.

Begitupun Allah telah memaknakan sebuah kemuliaan yang akan kita sandang ketika kita patuh hanya kepada-Nya.  Karena Allah telah berfirman yang artinya, “Semulia-mulia manusia di sisi-Ku adalah mereka yang bertaqwa“. Taqwa merupakan kata akhir dari sebuah rasa takut kepada Allah, dalam pengertian takut berbuat dosa, dan takut menentang semua kewajiban dan larangan-Nya. Oleh karena itu, jangan pernah ragu untuk menjadi “mulia” semata-mata karena kepatuhan kepada-Nya, walaupun dengan sebuah ancaman dari penguasa sekalipun. Yang paling gampang, misalkan saja, ketika dilaksanakan sebuah rapat penting, yang dipimpin oleh Gubernur atau Walikota atau Bupati, sementara sudah masuk waktu shalat dan diperkirakan rapat akan berjalan panjang melampaui waktu shalat tadi, tentulah kita tak perlu ragu meminta izin untuk menjalankan shalat, tanpa mesti takut karena sedang berada bersama penguasa. Karena, predikat “kemuliaan” yang digadang-gadangkan oleh Allah, sifatnya adalah pasti dan kekal.

« Older entries