Keseharian : Senyum Itu…

 

Mengapa begitu susahnya untuk tersenyum?

Bahkan, ketika hari-hari kita pun telah digerogoti oleh ‘kuman-kuman’ kehidupan yang bernama penderitaan. Ketika hidup pun makin sesak dengan persoalan-persoalan kebangsaan yang kian lama kian membuat kita semakin muak. Mendengar betapa pandirnya seorang anggota DPR yang terhormat, di sebuah hotel terkenal bernama Ritz-Carlton, menerima segepok uang—dibungkus keren dengan sebutan gratifikasi—masih ditambah lagi dengan seorang wanita pekerja tempat hiburan, yang berkali-kali berusaha menyembunyikan wajahnya dari terpaan blitz kamera. Melihat, betapa kukuhnya seorang pedangdut wanita seksi, menganggap bahwa goyang dan pakaiannya yang seronok hanyalah bagian dari sisi entertain yang akan lewat dan menghilang tanpa bekas begitu ia turun panggung. Menyaksikan, betapa memilukan anak kelas 5 SD menggantungkan dirinya di tiang pintu kamar, hanya karena dimarahi dan dilarang bermain play station. Menonton televisi, menyiarkan sebuah amukmassa hanya dikarenakan tak mendapatkan seliter minyak tanah karena stoknya sudah habis, sementara yang membutuhkan masih sederet dua deret antrian.

Senyum telah menghilang dari wajah kita. Berganti dengan kerut mulut menukik, menandakan kegetiran. Senyum telah menghilang dari hati kita. Berganti dengan kegeraman yang kadang memuncak memuncratkan caci maki. Senyum telah lama mati dari wajah kita. Berganti dengan kain kafan yang menyelimuti diri kita, dan siap mengubur kita bersama mimpi-mimpi tentang bangsa yang sejahtera, damai, dan berpengharapan. Senyum telah lama terbang ke langit. Berganti dengan awan gelap yang menenggelamkan matahari menyisakan setitik saja cahaya untuk memberikan petunjuk dimana sudut kehidupan tempat kita meratap….

Senyum itu.